Ayah Saya Ridwan Saidi

Saya jarang menulis tentang kehidupan pribadi, tapi kali ini saya membuat pengecualian.

Informasi mengenai Ayah sebagai politisi, budayawan, atau penulis sering ditemui di internet, media massa, maupun dari rekan seperjuangannya. Ada yang menganggapnya sebagai pribadi yang kontroversial, ada pula yang mengaguminya. Mungkin yang tidak diketahui adalah bagaimana Ayah kami di keluarga, karena Ayah maupun kami hampir tidak pernah mengumbarnya.

Kalau ada orang yang mengetahui saya anaknya, mereka biasanya bertanya, “wah kamu anak Babeh? Takut dong sama beliau di rumah?” Atau kalau ada teman saya yang kebetulan tahu saya adalah anaknya, mereka juga bertanya, “bokap lo galak, dong?” Ayah bukanlah orang yang demikian di keluarga. Lalu, siapakah Ayah?

Ayah adalah guru saya

Ayah sering mengajak saya mengikuti acaranya. Dulu saat SD, saya sering mengikutinya ceramah sebelum sahur atau sebelum berbuka puasa di berbagai daerah. Setengah ngantuk saya mendengarkannya ceramah mengenai Islam pada umumnya maupun hubungan Melayu dan Islam. Ayah juga yang mengajarkan saya salat, biasanya di waktu Maghrib karena ia baru pulang di sore hari. Kami salat berjamaah dan adik saya, saya lupa antara Ferhat atau Shahin, malah naik sepeda roda tiga dan mengelilingi kami semua.

Tidak hanya soal agama, tapi juga hal lainnya. Mungkin saya sudah ditakdirkan sebagai anak visual dari kecil, saya malah mengolah soal matematika secara visual. Saat itu soal tambah-tambahan bilangan besar. Saya menulis 100 + 1 = 1.001, dan nilai yang saya dapatkan adalah 1 (dari 10). Saya juga belum mengerti konsep nilai sehingga saya menganggap saya dapat ranking 1. Saya dengan bangga lari ke rumah dan menemukan Ayah saya. “Ayah! Ayah! Ipat ranking 1!” Dengan menahan tawa, Ayah mengajarkan saya cara berhitung.

Ayah bermain piano di rumah dan direkam oleh kru TV
Dulu Ayah sering bermain piano dan gitar di rumah (dok. pribadi)

Ayah juga sering bercerita tentang prinsipnya, khususnya saat Ayah menjadi anggota dewan. Seringkali ia menyisipkan kisah lucu sehingga “kuliah” ini selalu terasa menyenangkan dan saya tunggu-tunggu sewaktu kecil. Satu yang saya ingat adalah tentang vespa.

“Ayah kalo debat di dewan bisa sama siapa aja. Nah Ayah dulu tinggal di Taman Sari, beloman ada listrik di jalan, gelap banget. Ayah pulang malem-malem sama kawan yang Ayah ajak debat tadi, di dewan berantem tapi di luar berkawan. Beda sama politik jaman sekarang, temenannya kalo ada fulus. Nah di jalan naik vespa pas deket rumah ada pu’un beringin. Tiba-tiba ada genderuwo lompat. Langsung Ayah ngibrit ninggalin kawan Ayah. Besoknya tu orang ngomel-ngomel pas ketemu Ayah.”

Ayah adalah orang yang penyabar

Ia tidak pernah sekalipun menyakiti kami, baik lewat ucapan atau dengan perbuatannya. Suaranya memang tinggi, tapi saya tidak pernah mendengar ia makin meninggikan suaranya ke anak-anaknya atau cucu-cucunya.

Kalau saya melakukan kesalahan, yang ia lakukan adalah mengajak saya berdiskusi untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Lalu kalau ada perbedaan pendapat dengan Ayah, ia selalu mendukung apapun keputusan yang diambil oleh saya.

Masa kuliah saya mungkin adalah masa rebel saya. Saat itu saya malas datang ke kelas, banyak pula mata kuliah yang harus diulang. IPK saya bahkan sempat 0,9. Di tahun kelima saya kuliah, Ayah memanggil saya dan berkata dengan halus. “Pat, selama Ayah masi idup, Ayah akan selalu biayain (kuliah) kamu. Tapi kamu inget sama umur kamu.” Tidak ada marah, tidak ada judgement, hanya itu yang ia katakan. Dua tahun kemudian saya lulus dengan IPK 3,15.

Foto wisuda saya (berdiri di tengah, memakai toga dan memegang ijazah), didampingi Ayah (kanan), dan Mama (kiri).
Akhirnya saya wisuda (dok. pribadi)

Ayah selalu bekerja keras, untuk keluarga

Tidak pernah saya melihatnya tidak bekerja, bahkan di usianya yang sudah 80 tahun.

Saat saya kecil, ia aktif mendirikan beberapa organisasi, mulai dari LSIP (Lembaga Studi Informasi Pembangunan), Masyumi Baru, dan yang terakhir adalah Yayasan Renaissance. Sepertinya ia ingin mengajak saya mengikuti jejaknya, karena itu nama saya dicantumkan sebagai pendiri yayasan tersebut.

Ayah juga aktif menulis. Dulu saya rutin menunggu koran Suara Pembaruan di hari tertentu (Sabtu?), karena saat itulah tulisan Ayah terbit. Ayah juga menulis beberapa buku, satu di antaranya melibatkan saya sebagai desainer sampul dan tata letaknya, Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu Betawi. Selain itu Ayah sering menjadi narasumber, baik di TV, YouTube, maupun berbagai seminar.

Mama, saya, dan Ayah berpose di depan karya saya yang berjudul Taste Like Chicken di pameran Jakarta Biennale 2009
Berpose di depan karya saya di Jakarta Biennale 2009

Yang menarik adalah, Ayah adalah seorang yang selfless. Semua yang ia kerjakan adalah pengabdiannya untuk keluarga. Semua kerja kerasnya diberikan untuk keluarga.

Ia sangat sederhana, bahkan tidak mau mengganti pakaiannya atau sepatunya sampai kami memaksa membelikannya. Ia selalu berusaha memberikan yang terbaik kepada kami. Ia tidak memiliki banyak harta, tapi ia memberikan segalanya untuk keluarganya. Tidak pernah sekalipun saya mendengarnya mengeluh karena ia ikhlas dan tulus memberikan kepada kami.

Jihan, saya, Mama, Ayah, Ferhat, dan Shahin berpose di acara ulang tahun Ayah
Ulang tahun Ayah di Taman Ismail Marzuki (dok. pribadi)

Ayah kami sangat penyayang

Memang, ia tidak pernah mengucapkannya secara langsung, tapi kasih sayangnya bisa kami rasakan sampai sekarang. Ia menunjukkannya perasaannya lewat perbuatan.

Dulu saya sering dirawat di rumah sakit. Saat itu Ayah membayarkan sendiri dan berusaha sebisa mungkin agar saya tidak terganggu dengan pasien lain, alias Ayah memberikan kamar yang terbaik. Ayah juga yang selalu menemani saya di rumah sakit. Saat saya sudah bekerja, kantor saya saat itu hanya bekerja sama di RS Pelni dan saya harus dirawat di sana. Saya dirawat selama ~20 hari dan tiap harinya Ayah selalu menjenguk saya. Ketika saya dirawat terakhir kalinya menjelang saya menikah, ia menitip pesan ke (calon) istri saya, “kamu jagain Ipat, ya.”

Ayah dan istri saya bercanda di acara akad nikah kami
Ayah dan kejenakaannya selalu mencairkan suasana (dok. pribadi)

Ayah sering datang ke rumah, baik ketika saya masih tinggal di rumah mertua di Cinere, hingga ketika saya sudah memiliki rumah sendiri di dekat rumah Ayah. Kedatangannya selalu mendadak, “Pat, Ayah depan rumah, nih.” Ia lalu menanyakan Samira, bagaimana keadaannya, dan kalau Samira ada ia menyempatkan bermain sebelum akhirnya pergi lagi ke acara yang harus dihadiri.

Ayah bermain dengan Samira
Datok bermain dengan cucunya tahun 2017 (dok. pribadi)

2 hari terakhir bersama Ayah

Jumat, 23 Desember 2022

Saya sedang bermain HP di jam 6 pagi lalu dikejutkan oleh istri saya. “Ayah udah ga ada!” Adik saya, Shahin, sudah menunggu di depan rumah. Kami langsung berangkat ke rumah Ayah. Tidak sampai 10 menit kami sampai karena rumah kami hanya berjarak 1,5 km kalau menggunakan mobil.

Saat saya lihat dari kejauhan, Ayah sudah terbujur kaku di tempat tidurnya, bahkan saya mengiranya sudah tiada. Saya balik badan mengumpulkan keberanian, lalu berjalan menuju kamar Ayah. Saya memeriksa tanda vitalnya, tidak terlihat bernafas dan tidak terasa denyut nadinya. Tangannya kaku, mulutnya berbuih. Tidak lama kemudian terdengar suara ia mendengkur. Saya menghela nafas karena ternyata Ayah masih hidup.

Shahin lalu mencari ambulans, dan saya googling mencari pertolongan pertama. Karena gejalanya mirip kejang, jadi saya mencoba memiringkannya agar jalur nafasnya tidak tersangkut. Sambil menunggu ambulans datang, saya mencoba menenangkan Mama. Istri saya, Devi, dan istri Shahin, Yuan, tak lama kemudian datang.

Rumah sakit yang bisa merespon hanyalah RSPI Bintaro. Petugas menyarankan agar Ayah dibawa ke rumah sakit. Saya menumpang ambulans dan sepanjang jalan saya masih belum bisa menerima kenyataan.

Kakak saya, Uni Hani/Jihan, ternyata sudah sampai di RS. Saya lalu bergegas mengurus administrasi dan kakak saya beserta yang lainnya menemani Ayah di IGD.

Di jam 9:28 dokter datang memberikan hasil tes. Untuk ginjal, paru-paru, darah, dan lain-lain tidak ditemukan kelainan. Ketika membahas hasil scan otak, dokter bilang kalau Ayah pernah terkena serangan di otak kanan dan kiri (gambar kanan). Mungkin gejala ringan, atau tidak ada gejala, atau Ayah mengabaikannya karena kami tidak ada yang tahu. Lalu untuk serangan yang kali ini, lokasinya ada di brainstem atau batang otak yang memengaruhi kesadarannya, sehingga Ayah tidak bangun sama sekali.

Gambar CT scan kepala
Serangan pertama (dok. pribadi)
Gambar CT scan kepala
Serangan kedua (dok. pribadi)

Posisinya yang cukup berbahaya, ditambah kondisi Ayah yang kritis dan usianya yang sudah cukup tua, membuatnya berisiko untuk diberikan tindakan. Dokter menyarankan untuk Ayah ditempatkan di ICU, namun kami memilih untuk di kamar biasa agar bisa selalu hadir untuk Ayah.

Ayah lalu ditempatkan di sebuah kamar. Uni menemani hingga malam, saya dan Shahin nginap di RS.

Sabtu, 24 Desember 2022

Badan Ayah yang awalnya sangat dingin, di hari kedua ini sudah mulai menghangat. Saya mengira kondisinya membaik dan memutuskan untuk pulang dan beristirahat. Di rumah, saya tidak bisa tidur dan hanya bisa menangis karena khawatir.

Setelah Maghrib, saya dan Shahin berangkat lagi ke RS untuk menemani Ayah. Suasananya terasa kelam sesampainya kami di sana. Dena, sepupu kami, lalu menceritakan apa yang dokter sampaikan. Dokter meminta kami mempersiapkan diri untuk yang terburuk.

Jam 8 malam saya memberanikan diri untuk menyampaikan perpisahan.

Saya memegang tangan Ayah
Tangan yang merawat saya dari kecil (dok. pribadi)
Saya berbincang dengan Ayah
Kakak saya diam-diam mengambil foto ini (dok. pribadi)

25 Desember 2022

Sekitar tengah malam akhirnya adik saya, Ferhat, sampai di RS. Kami langsung memberikan ia waktu berdua dengan Ayah.

https://www.instagram.com/p/Cmst1lHSlzM/?hl=en

Kami lalu bergantian menemani Ayah. Sepanjang malam saya meminta Allah untuk segera memanggil Ayah pulang karena saya tidak tega melihatnya, namun Allah memiliki rencana yang lebih baik. Saya memutuskan tidur di jam 5 pagi.

Jam 8 saya terbangun dan kondisi vital Ayah masih sama. Saya memutuskan turun ke bawah untuk membeli sarapan. Sekitar jam 8:25 saya sampai kamar dan denyut nadi Ayah sudah ~40 dan SPO2 sudah <40. Saya memanggil Shahin yang sedang mandi dan kami berempat menemani Ayah.

Tidak lama kemudian Ayah pulang.

Tangkapan layar twit saya yang bertuliskan إِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ. Dikirim jam 8:34 pagi.

Jam 8:33 kami memanggil perawat dan lalu mereka mempersiapkan alat untuk memvalidasi. Secara medis, 8:35 Ayah kami sudah tiada.

Selepas Ashar, kami mengantar Ayah ke tempat istirahatnya.

Suasana pemakaman Ayah: saya memeluk Samira, Ezzat dan Noura menundukkan kepala, Ferhat melihat ke penceramah.
Saya memeluk Samira di pemakaman Ayah (detik.com)

Ayah adalah segalanya hidup saya

Meninggalnya Ayah merupakan kehilangan terbesar saya. Ayah adalah pelangi di badai yang saya alami saat kecil. Ayah pula yang membuat saya bertahan hidup sampai sekarang.

Dulu, kalau saya ada masalah dan ia masih membantu saya, saya bertanya, “Ayah kok masih bantuin Ipat?” “Kamu belom kuat ngadepin ini sendirian.”

Sekarang, perginya Ayah mungkin pertanda kalau saya sudah siap.

“Udeh ya, Pat.”

Ayah, Mama, anak-anaknya, mantu-mantunya, dan cucu-cucunya
Keluarga besar Ridwan Saidi di perayaan ultah ke-80 (dok. pribadi)
30 people recommended this post