(Hampir) Tiga Tahun di Gojek

Saya masih ingat perjuangan saya mencari kerja di pertengahan 2015 lalu. Saat itu saya baru “mengundurkan diri” dari sebuah perusahaan rintisan padahal saya sedang membutuhkan uang untuk biaya pernikahan. Tiba-tiba ada sebuah surel masuk.

Sebelumnya saya sudah aktif menggunakan GO-JEK sejak mengalami kecelakaan dan sempat trauma menyetir kendaraan sendiri. Tanpa berpikir panjang, saya langsung melayangkan surat lamaran.

Saya lalu dipanggil untuk wawancara dan bertemu dengan Mikey, salah satu co-founder GO-JEK, di kantor pusat yang berada di Kemang.

Awalnya saya melamar untuk posisi UI/UX Designer, namun posisi tersebut sudah terisi. Mikey menawarkan saya untuk mengambil posisi Sr. Web Planner yang tentunya saya iyakan karena ingin mencoba posisi selain desainer.

Seminggu kemudian saya diminta melakukan presentasi mengenai proyeksi saya akan situs web yang dimiliki oleh GO-JEK. Presentasi tersebut dihadiri juga oleh para manajer dari berbagai produk yang sudah maupun akan diluncurkan oleh GO-JEK.

Alhamdulillah saya lolos. Pada 25 Agustus 2015 saya resmi menjadi GO-TROOPS dengan posisi Web Team Lead dan bertugas mengurus semua kebutuhan situs web GO-JEK.

Ada banyak hal baik yang saya dapatkan selama (hampir) tiga tahun bekerja di sana.

Otonomi

Tim Web saat “kabur” ke kafe

Yang paling menyenangkan adalah otonomi dalam bekerja. Setiap tim di GO-JEK memiliki kebebasan dalam mengatur ritme dan cara mereka bekerja. Tidak ada yang mendikte maupun membuat aturan baku di sana.

Tim saya sendiri juga memiliki “aturan” tersendiri. Kami tidak mempermasalahkan apabila ada anggota tim yang datang terlambat ataupun ingin bekerja di luar kantor, selama ia bisa mempertanggung jawabkan semua pekerjaannya. Bahkan ada satu anggota tim yang “menghilang” dari waktu makan siang sampai setelah Ashar karena ia ingin mengikuti kajian di sekitar kantor. Tidak masalah bagi kami.

Kepercayaan dan tanggung jawab

Mikey (tengah) bersama tim Web

Mikey membebaskan tim kami untuk mengatur porsi pekerjaan yang akan kami ambil. Suatu waktu ada kebutuhan mendesak yang harus segera diselesaikan namun workload tim kami sedang banyak. Saya menjelaskan ke Mikey kenapa tidak bisa kami kerjakan saat itu karena berbagai hal, dan memutuskan untuk menunda permintaan tersebut.

Biasanya, bos akan tetap mengharuskan bawahannya untuk tidak memilah-milah pekerjaan. Tapi itu tidak terjadi di Mikey. Sebagai seorang pemimpin ia bisa menerima keputusan kami bahkan menawarkan dirinya untuk menjelaskan ke divisi lain.

Work-life integration

Saya tidak akan mempercayai omong kosong ini jika saya tidak pernah mengalaminya.

Dulu, sebelum di GO-JEK, akan sulit bagi saya untuk mengerjakan hal-hal lain di luar pekerjaan. Bahkan saya pernah mendapat teguran keras dari bos saya karena saya tidak membalas Slack darinya saat saya sedang dirawat di rumah sakit.

Hal ini tidak terjadi di GO-JEK. Saya bisa izin sebentar dari kantor untuk mengurus pernikahan. Saya juga bisa dengan mudahnya mengambil cuti untuk menjaga anak saya yang sedang dirawat tanpa perlu dihantui pekerjaan. Bahkan, saat ada film yang baru rilis, tim kami bisa meninggalkan kantor selama tiga jam untuk pergi ke bioskop, lalu kembali lagi bekerja di malam hari.

Kesetaraan

Walau ada jenjang jabatan di GO-JEK, namun kami semua setara. Biasanya atasan yang akan memberikan review kepada stafnya. Tidak demikian dengan GO-JEK. Semua orang akan di-review dari semua arah yang kami sebut sebagai 360 Degree Feedback, yaitu dari atasan, rekan kerja, maupun dari timnya, sebanyak dua kali dalam setahun.

Yang menariknya, hasil dari review tersebut, selain untuk menentukan kenaikan gaji dan jumlah bonus, juga akan ditindaklanjuti oleh tim HR. Salah satu contoh nyata adalah diri saya sendiri. Saya pernah mendapatkan hasil review yang kurang memuaskan (saat itu saya sedang depresi berat) dan berakibat kepada turunnya jabatan saya: dari mengurus seluruh tim Web menjadi hanya mengurus desain situs web.


Lalu, kenapa saya meninggalkan GO-JEK?

GO-JEK sudah seperti rumah kedua. Sayangnya, GO-JEK menjadi zona yang terlalu nyaman. Saya merasa tidak ada lagi yang bisa saya pelajari di sana. Saya merasa tidak berkembang cukup pesat dibanding awal-awal saya bekerja di sana.

Setelah memikirkan cukup lama, saya akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari GO-JEK dan menerima tawaran dari IBM.

1 people recommended this post

Related posts