Saran agar sukses dalam wawancara pekerjaan startup

Sebenarnya saya pernah menjawab pertanyaan yang mirip dengan ini, namun saya akan menulis dengan cara berbeda.


Proses melamar kerja di perusahaan apapun menurut saya sama sulitnya seperti melakukan pedekate dengan gebetan yang sudah saya taksir sejak lama: grogi, takut terlihat salah, ingin menunjukkan yang terbaik. Berhasil mencapai tahap wawancara itu ibarat sudah berhasil mengajak kencan sang gebetan. Tentu saja semuanya harus dipersiapkan dengan baik.

Sayang sekali, dari berbagai wawancara yang sudah saya lakukan di GOJEK pada 2015–2018 lalu, banyak kandidat yang merasa minder dan justru tidak mempersiapkan dirinya. Lebih buruknya, kandidat merasa dirinya hanyalah “butiran debu” di hadapan perusahaan rintisan unicorn ini. Harus diingat bahwa posisi keduanya sama, pemberi kerja membutuhkan pekerja, dan (calon) pekerja membutuhkan pekerjaan. Keduanya sama-sama membutuhkan.

Saya akan melanjutkan menggunakan contoh pedekate agar lebih mudah dipahami.


Saling mengenal

Proses melamar kerja itu ibarat mengenali gebetan. Apa saja kesukaannya? Hobinya apa? Bahkan sampai siapa capres pilihannya perlu kita cari tahu lebih lanjut agar terhindar dari debat tidak perlu. Saya sendiri McQueen YaQueen memilih Koalisi Tronjal Tronjol Maha Asyik.

Setelah melakukan riset saya bisa dengan mudah berbasa-basi seperti ini:

“Oh kamu suka Pulp ya? Aku suka banget sama Common People! Orang-orang bilang ini tentang perlawanan kelas sosial tapi menurutku pribadi ini seperti keinginanku untuk bisa hidup normal layaknya manusia pada umumnya.”

Apakah hanya perusahaan saja yang harus menggali siapa kandidat yang diwawancarainya? Sayang sekali ini kesalahan fatal yang cukup banyak diadopsi kandidat. Saya pernah mewawancarai orang yang tidak pernah menggunakan layanan GOJEK bahkan tidak tahu GOJEK itu apa. Memang, sih, saat itu GOJEK belum seksi seperti sekarang namun itu bukan pembenaran. Apapun perusahaan yang kita lamar, kita harus pelajari perusahaan tersebut terlebih dahulu. Ini juga bisa membuat kita lebih lancar dalam menjawab beberapa pertanyaan.

Misalnya saya melamar sebagai desainer web GOJEK, saya bisa memakai situsweb GOJEK sebagai bahan jawaban saya. “Tugas saya dulu merancang situsweb yang fungsinya mirip dengan situsweb GOJEK saat ini, yaitu untuk kebutuhan marketing dan acquisition. Dari pengalaman ini saya bisa belajar a b c dan menurut saya bisa juga diterapkan ke situsweb GOJEK.”

Atau ketika ditanya mengenai apa yang saya ketahui tentang IBM, saya bisa menjawab seperti ini.

“IBM makes history. I didn’t know before that you guys invented a lot of stuffs, from punch cards to ATMs. IBM also puts design first and I think it would be a good place for me to learn more about design and to do my best as a designer.”

Antusias

Kencan pertama sungguh berkesan. Apapun akan saya lakukan untuk memberikan kesan yang terbaik, mulai dari memakai parfum, menggosok gigi dan menyisir rambut, memakai baju terbaik yang saya punya, bahkan sampai meminjam kendaraan milik orang tua agar terlihat lebih bergaya. Saya yakin tidak hanya saya saja yang akan mengusahakan hal-hal di atas.

Apa jadinya jika saya sudah berhasil mengajak kencan namun di hari-h saya justru terkesan terpaksa karena sudah telanjur “terjebak” di situasi itu?

Ada satu kasus di mana seorang kandidat tidak menunjukkan antusiasmenya.

Saya mereferensikan teman saya, sebut saja A, kepada teman saya bernama B untuk bekerja di sebuah perusahaan konglomerasi besar di Indonesia. Si A bisa memiliki karier yang bagus di sana. Selain itu ia juga akan mendapat tim rekayasanya sendiri, mengembangkan produknya sendiri yang lebih menantang dari pekerjaannya saat ini, mendapat fasilitas mobil tanpa biaya apapun dari perusahaan, bahkan potensi mendapat gaji yang minimal dua atau tiga kali gajinya sekarang. Saya yakin si A bisa dengan mudahnya lolos karena keahliannya yang luar biasa dan pengalaman serta wawasannya yang sangat luas dan beragam.

Sekitar sebulan lalu saya bertanya ke B, “gimana A? Lancar?”

“Gak nih, CEO gue jadi males abis interview kemarin. Temen lo keliatan ga antusias banget.”

Baru saja kemarin saya konfirmasi lagi ke B, namun ia kembali menggelengkan kepala.

Setajir, sepintar, seganteng/cantik apapun Anda, kalau membuat ilfeel gebetan pasti peluang Anda akan berkurang.

Kesan pertama

Ini berkaitan erat dengan hal di atas.

Saya berhasil menjemput gebetan lalu kami menuju lokasi kencan. Pastinya di dalam perjalanan kami akan (berusaha) memberikan kesan terbaik dengan saling (berusaha) membuat percakapan yang menarik.

Bayangkan percakapan ini yang terjadi:

Gebetan: Tadi macet ya?
Saya: Lumayan.
Gebetan: Susah ga nyari rumahku?
Saya: Kan pake Google Maps.
Gebetan:
Saya:
Satpam komplek:
Tukang parkir:
Pelayan restoran:

Bandingkan dengan ini:

Gebetan: Tadi macet ya?
Saya: Lumayan sih, untung aku berangkat lebih awal jadi ga terlalu macet.
Gebetan: Wah gitu dong! Oh ya, susah ga nyari rumahku?
Saya: Kan udah ada Google Maps. Aku ketolong banget kamu kasih titiknya pas jadi aku tinggal ikutin aja.
Gebetan: Hehe iya soalnya orang-orang suka susah nyari rumahku.
Saya: Hm… Emang siapa aja sih yang ke rumah kamu?
Gebetan: Abang GOJEK kok hehe.
Saya: Nanti kalo kamu sama aku ga perlu pesen GOJEK lagi kok! *kasih senyum terbaik*

Wawancara itu harus mengalir. Saat ditanya, kita harus membuat jawaban yang menarik yang bisa menjadi bahan pembicaraan lebih lanjut. Kita harus bisa membuat pewawancara menggali kemampuan kita lebih jauh melalui jawaban yang kita berikan.

Saya pernah mengalami wawancara seperti ini:

Saya: Apa pekerjaan kamu sebelumnya?
Kandidat: Desainer.
Saya: Desain apa?
Kandidat: Grafis.
Saya: Pernah mendesain aplikasi?
Kandidat: Ngga.

Mendapat jawaban seperti itu saya langsung malas menggali lebih lanjut. Yang saya lakukan selanjutnya adalah membuka laptop untuk multi-tasking membaca-baca Slack dan surel pekerjaan sembari memberikan pertanyaan “wajib” seperti kapan bisa mulai bekerja dan sebagainya.

Bandingkan sewaktu saya diwawancara di IBM. Saya datang dan membawa beberapa lembar CV saya untuk dibaca oleh pewawancara. Saya menyerahkan CV dan mereka langsung menutup laptop mereka untuk membacanya. Sembari membaca mereka meminta saya memperkenalkan diri lalu mulai menanyakan hal yang penting.

Pewawancara: So.. You’re still working as a UI Design Lead at GOJEK. What did you do?

Saya: I led a team of designers and we were under Marketing division. Our main job was to support the marketing purposes of GOJEK by building a bunch of web based materials, from landing pages to microsites to websites. I learned a lot but, that’s it, I need to explore new stuffs. I didn’t have the chance to try new things like designing apps. (Kalimat terakhir sengaja digantung agar pewawancara menanyakan hal yang akan saya sampaikan lebih lanjut.)

Pewawancara: You’d never designed an app before?

Saya: Nope. I tried to move my self and my team to the Tech division so we could get a better exposure. We have tried talking to a lot of guys, from VPs to Group CTO to help the transfer process since last year but I think it would take times. While waiting, I tried to apply to a lot of places including IBM. (Ini untuk menunjukkan kalau saya tetap berusaha “memperbaiki nasib” di perusahaan sekarang dan tidak dengan gampangnya mengundurkan diri ketika pekerjaan saya sudah tidak menarik lagi.)

Pewawancara: Interesting. That’s why you’re here, right? What do you know about designing apps?

Saya: It’s almost the same as designing for web. Both have goals to achieve. The only difference is mobile has limited screen estate. I couldn’t put everything on the screen because it would confuse the user. Of course I might need to adapt once given the chance to work on mobile products.

Tentu saja saya tidak membual dalam menjawab. Saya melakukan riset terlebih dahulu mengenai IBM, produknya, hingga bidang pekerjaan yang saya lamar.

Untuk mampu memberikan jawaban yang baik kita harus bisa membuat struktur jawabannya. Metode yang saya suka adalah CAR+L, yaitu Context, Action, Result, plus Learning.

Selengkapnya mengenai metode ini bisa disimak melalui video di bawah.

Selain itu, karena sudah melakukan riset mengenai perusahaan, saya bisa menanyakan hal-hal yang di luar dugaan pewawancara.

“I’ve read that IBM sold all of their laptop division to Lenovo. I also found out that IBM tried to shift to consulting services. I don’t really understand about it. Can you please explain to me and what exactly are you looking for from a UX Designer like me?”

Berapa banyak orang yang bertanya seperti ini selama saya merekrut untuk GOJEK? Nihil. Mereka hanya menanyakan hal-hal standar seperti besaran gaji dan tunjangan. Ibaratnya dalam pedekate, belum kenal dia siapa tapi sudah menagih “jatah”.

Follow up

Setelah menembak gebetan ada kalanya ia tidak langsung memberikan jawaban. Kita merasa gemes karena digantung dan butuh kepastian. Ingin langsung bertanya tapi merasa gengsi, “ah gue ga mau dikira pengemis cinta!”

Situasi ini juga terjadi setelah wawancara, “nanti akan kami hubungi ya kalau lolos.” Berdiam diri menunggu jawaban tentu sangat menyiksa. “Ah nih rekruter pada PHP,” begitu curhat yang sering saya lihat di LinkedIn.

Ada teknik yang saya pakai untuk mem-follow up rekruter mengenai status lamaran saya.

Biasanya saya akan menunggu satu-dua minggu sebelum melakukan follow up. “Rumus” durasi itu saya dapatkan dari pengalaman melakukan perekrutan, saya akan mewawancarai beberapa kandidat dalam satu atau dua minggu sebelum mendapatkan calon terbaik. Akan sulit sekali membandingkan para kandidat apabila durasi waktunya terlalu jauh.

Sembari menunggu saya juga mencari bahan untuk memulai percakapan seperti berita terbaru mengenai perusahaan tersebut.

Di bawah ini adalah tangkapan layar sewaktu saya “menagih” jawaban dari GOJEK.

Saya memulai dengan memberikan ucapan selamat atas prestasi terbaru GOJEK. Saya merasa sebagai orang timur perlu memulai dengan bahasan ringan terlebih dahulu namun tanpa terlihat bertele-tele.

Setelah itu saya menuju bahasan utama. Saya tidak menanyakan status lamaran saya, tapi saya menawarkan diri untuk membantu apabila ada perlu yang saya persiapkan agar proses perekrutannya lebih lancar. “Alus banget lo Fat,” begitu kata teman saya.

Yang saya lakukan ini adalah “sundul gan” yang biasa terjadi di Kaskus. Sundulan ini membuat saya dipertimbangkan lebih lanjut dan pada akhirnya saya berhasil diterima di GOJEK.


Saya rasa cukup sampai sini saja saran yang saya berikan. Kalau terlalu banyak nanti malah jadi buku haha. Semoga berhasil wawancaranya!


Catatan: Ini adalah salinan jawaban saya di Quora. Saya akan menulis ulang jawaban yang saya suka di Quora ke dalam blog saya.

5 people recommended this post

Related posts